Hukum
perdata juga sering disebut hukum privat yaitu hukum yang mengatur hak dan kewajiban yang
dimiliki pada subyek hukum dan hubungan antara subyek hukum. Hukum Perdata menurut ilmu hukum sekarang ini,
lazim dibagi dalamempat bagian,
yaitu :
1.
Hukum tentang diri seseorang,
Hukum ini memuat peraturan-peraturan tentang manusia sebagai subyek dalam hukum.
2.
Hukum
Kekeluargaan,
Hukum ini mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang timbul dari hubungan kekeluargaan, yaitu : perkawinan, hubungan antara orang tua dan anak, perwalian dan
curatele.
3.
Hukum Kekayaan,
Hukum ini mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang dapat dinilai dengan uang.
4.
Hukum warisan,
HUkum ini mengatur
hal ikhwal tentang benda atau kekayaan
seorang jikalau ia meninggal. Juga dapat dikatakan Hukum Waris itu mengatur akibat-akibat hubungan keluarga terhadap harta
peninggalanseseorang.
A.
Sejarah Singkat Hukum Perdata Indonesia
Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum
Napoleon kemudian bedasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang burgerlijk
wetboek voor Indonesie atau biasa disingkat sebagai BW/KUHPer. BW/KUHPer
sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia
Belanda yang ditujukan bagi kaum golongan warganegara bukan asli yaitu dari
Eropa, Tionghoa dan juga timur asing. Namun demikian berdasarkan kepada pasal 2
aturan peralihan Undang-undang Dasar 1945, seluruh peraturan yang dibuat oleh
pemerintah Hindia-Belanda berlaku bagi warga negara Indonesia(azas konkordasi).
Beberapa ketentuan yang terdapat di dalam BW pada saat ini telah diatur secara
terpisah/tersendiri oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Misalnya
berkaitan tentang tanah, hak tanggungan dan fidusia.
Kodifikasi KUH Perdata Indonesia diumumkan pada tanggal 30
April 1847 melalui Staatsblad No. 23 dan berlaku Januari 1848. Setelah
Indonesia Merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang
Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku sebelum
digantikan dengan Undang-Undang baru berdasarkan Undang–Undang Dasar ini. BW
Hindia Belanda merupakan induk hukum perdata Indonesia.
B.
Hukum Perdata di
Indonesia
Hukum Perdata di
Indonesia bersifat berbhineka atau bersifat pluralistik, baik secara etnis
maupun secara yuridis. Secara etnis dikatakan bersifat pluralistis atau
berbhineka karena hukum- hukum yang berlaku bagi penduduk Indonesia,
berbeda-beda dari masyarakat adat yang satu dengan masyarakat adat yang
lainnya. Keadaan tersebut ditambah dengan diberlakukannya Politik Hukum Belanda
di Hindia Belanda yang merupakan Landasan Politik Hukum Belanda atas tata hukum
di Hindia Belanda.
·
Pasal
131 IS, secara garis besar menentukan hal-hal sebagai berikut :
Hukum Perdata
dan Hukum Dagang (begitu juga Hukum Pidana beserta Hukum Acara Perdata dan
Pidana) harus diletakkan dalam kitab undang-undang, yaitu dikodifikasi.
Untuk golongan
Eropa dianut (dicontoh) perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda (Asas
Konkordansi).
Untuk golongan
Indonesia Asli dan Timur Asing (Cina, Arab, dsb), jika ternyata kebutuhan
kemasyarakatan mereka menghendaki, hukum Eropa dapat dinyatakan berlaku bagi
mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan
untuk membuat suatu peraturan baru bersama, untuk selainnya harus diindahkan
aturan-aturan yang berlaku di kalangan mereka dan boleh diadakan penyimpangan
jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakat mereka. Orang
Indonesia asli dan orang Timur Asing, sepanjang mereka belum ditundukkan
dibawah suatu peraturan bersama dengan golongan Eropa, diperbolehkan
menundukkan diri pada hukum yang berlaku untuk golongan Eropa. Penundukkan diri
ini boleh dilakukan secara umum atau secara hanya mengenai perbuatan tertentu
saja.
Sebelum hukum
untuk golongan Indonesia Asli ditulis dalam undang-undang, bagi mereka akan
tetap berlaku hukum yang sekarang berlaku bagi mereka, yaitu hukum adat. Berdasarkan
ketentuan tersebut maka secara garis besar dapat ditarik beberapa pokok
pemikiran mengenai politik hukum Belanda yang meletakkan tatanan hukum di
Hindia Belanda sebagai berikut:
Hukum Perdata
dan Hukum Dagang dll, dibuat dalam Kitab Undang-Undang yaitu DIKODIFIKASIKAN
dan untuk Gol. Eropa diberlakukan ASAS KONKORDANSI, yaitu hukum yang beralku di
Belanda diberlakukan bagi golongan Eropa di Hindia Belanda;
Penduduk Hindia
Belanda dibagi dalam golongan-golongan penduduk dan bagi mereka berlaku sistem
hukum yang berbeda-beda (pasal 131 jo 163 I.S);
·
Penggolongan
penduduk dan sistem hukum yang berlaku adalah sbb:
Golongna Eropa :
diberlakukan Hukum yang berlaku di Belanda.
Golongan Timur Asing Cina : KUHPerdata dan KUHD
diberlakukan bagi mereka dan sejak tahun 1925, bagi mereka berlaku semua hukum
privat yang berlaku bagi Golongan Eropa, kecuali peraturan yang mengenai
Catatan Sipil. Dimana bagi mereka berlaku Lembaga tersendiri dan peraturan
tersendiri, yaitu dalam bagian IIS. 1917 : 129.
Golongan Timur
Asing lainnya (Arab, India, dll), diberlakukan KUHPerdata dan KUHD, kecuali
hukum kekeluargaan dan Hukum Waris tetap berlaku hukum mereka sendiri. Dalam
bidang Hukum Waris, bagian mengenai pembuatan wasiat berlaku juga bagi mereka.
Golongan Indonesia
Asli : diberlakukan Hukum Adat.
Berdasarkan
ketentuan-ketentuan tersebut di atas maka pada zaman Hindia Belanda telah ada
beberapa peraturan perundang-perundangan yang dinyatakan berlaku bagi golongan
Indonesia, misalnya :
S. 1879 No. 256,
secara garis besar menentukan bahwa perjanjian kerja atau perjanjian
perburuhan, seperti pasal 1601 – 1603 lama dari KUHPerdata dinyatakan berlaku
bagi golongan Indonesia asli;
S.1939 No.49,
menyatakan berlaku bagi golongan Indonesia beberapa pasal KUHD, yaitu sebagian
besar dari hukum laut;
S.1933 No. 74
mengenai Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen;
Disamping ada
peraturan yang secara khusus dibuat bagi golongan Indonesia, ada pula peraturan
yang berlaku bagi semua golongan penduduk (semua warganegara), misalnya :
S. 1933 No.
108 : Peraturan Umum tentang
Koperasi;
S. 1938 No.
523 : Ordonansi Woeker (Lintah
Darat);
S. 1938 No.
98 : Ordonansi tentang
Pengangkutan di Udara.
C.
Contoh kasus
Hukum Perdata
Contoh
1.
Andi
digugat oleh seorang gadis yaitu Lina untuk membayar ganti rugi atas pembelian
gaun baru dan tas serta kerugian immaterial (merasa dirugikan karena telah
menceritakan ke teman- temannya) karena Andi telah mengingkari janji mengajak
untuk berlibur ke Tokyo, Jepang. Bagaimana penyelesaian kasus ini menurut anda
selaku kuasa hukum Lina ?
Jawaban:
Lina
tidak dapat mengajukan gugatan ke pengadilan karena tidak memenuhi syarat
materiil gugatan yaitu gugatan yang diajukan Lina tidak beralasan dan tidak
berdasarkan hukum. Perselisihan yang terjadi bukanlah melanggar hak yang pantas
pada syarat materiil untuk mengajukan gugatan. Selain itu tidak terdapat
ketentuan hukum perdata yang dilanggar, diabaikan dan tidak dipenuhi.
Contoh
2.
Rizky
(Surabaya) menggugat Hana (Jogjakarta) di Pengadilan Negeri Semarang dengan dasar
Hana belum membayar utangnya sebesar Rp.100.000.000,- dengan jaminan tanah HM.
No.31 Semarang. Saudara adalah hakimnya bagaimana sikap saudara jika Paulina
mengajukan eksepsi bahwa PN. Semarang tidak berwenang memeriksa perkara? Apa
alasannya? Dan sebut dasar hukumnya?
Jawaban :
Eksepsi
adalah tangkisan yang tidak mengenai pokok perkara, namun jika berhasil dapat
menyudahi pemeriksaan perkara. Eksepsi diterima bahwa Pengadilan Negeri
Semarang tidak berwenang untuk memeriksa perkara. Pengadilan yang berwenang
untuk memeriksa perkara adalah Pengadilan Negeri Demak sebagai domisili
tergugat berdasarkan pasal 118 (1) HIR.
Sumber :